![]() |
Kupang – Pulau Kera masih hangat terkait relokasi yang disampaikan Bupati Kupang Yosep Lede dan penolakan dari warga masyarakat Pulau Kera.
Masyarakat Pulau Kera bertahun-tahun menguasai dan mendiami pulau itu. Pulau Kera dalam penguasaan nyata atau penguasaan fisik oleh warga Pulau Kera. Kemudian hendak direlokasi.
Menurut Boby Pitoby, ia telah memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang terbit tahun 1986.
Bobby Pitoby menjelaskan dimedia SHGB tersebut peroleh dari keluarga Bisilisin, tuan tanah di Semau tahun 1986. Ia memiliki bukti kepemilikan yang sah, dan transaksi jual beli dilakukan tanpa melibatkan pemerintah, suku Bajo, atau pihak lain.
Merespons hal itu, kuasa hukum masyarakat Pulau Kera, Akhmad Bumi, SH kepada media ini, Kamis (8/5/2025) menjelaskan Pulau Kera dalam penguasaan nyata atau penguasaan fisik oleh masyarakat Pulau Kera, disisi lain ada penguasaan yuiridis oleh Pitoby karena ada SHGB.
”Penguasaan yuridis berupa sertifikat hanya bisa lahir dari penguasaan nyata atau fisik atas lahan tersebut. Tanpa menguasai fisik tapi tiba-tiba ada sertifikat, ini perlu dicermati. Apa ada bukti penguasaan fisik, misalnya ada bekas telapak kaki, bekas rumah, bekas kubur atau bekas kebun?”, tanya Akhmad Bumi.
Lanjutnya kalau ada bukti pengusaan fisik sebelum terbit SHGB dapat disampaikan dikementrian terkait.
”Sampaikan saja penguasaan fisik berupa ada bekas kebun, bekas rumah, bekas kubur, atau bekas telapak kaki atau apa. Itu jadi bahan telaahan kita ke kementrian BPN/ATR dalam permohonan mencabut SHGB tersebut”, jelasnya.
Akhmad Bumi menambahkan SHGB hanya bisa lahir dari tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak perorangan atau hak milik.
Kalau SHGB lahir dari tanah hak milik perseorangan seperti disampaikan Boby Pitoby dimedia yang dapat dari keluarga Bisilisin, maka dibuktikan dengan penguasaan fisik selain surat-surat. Semua itu diverifikasi oleh BPN sebelum terbit SHGB.
Ini SHGB hanya memiliki hak sewa atas tanah dengan jangka waktu tertentu, bukan hak milik yang tanpa ada jangka waktu. Sewa ke perorangan dengan nilai berapa dengan luas tanah sebesar itu?
Akhmad Bumi, SH menjelaskan Pulau Kera itu berada di kelurahan Sulamu, kecamatan Sulamu, kabupaten Kupang, bukan di Semau. Kalau Bisilisin itu ada di Semau, bukan di Pulau Kera Sulamu.
Akhmad Bumi mengutip keterangan Abdullah Sapar-Dethan (ahli waris Jumila) menjelaskan, Pulau Kera itu dihuni nenek moyangnya sejak tahun 1884, dalam pendudukan Jepang tahun 1942 di Kupang dan berimbas hingga ke Pulau Kera, mereka sempat keluar dari Pulau Kera, dan kemudian datang kembali. Datang kembali karena ada jejak peninggalan leluhur mereka di Pulau Kera.
Lanjut Akhmad Bumi, SH dari keterangan Boby Pitoby dimedia, PT Pitoby tidak memiliki hubungan hukum dengan Pemerintah Kabupaten Kupang, karena lokasi itu bukan disewa atau dibeli Pitoby dari Pemerintah kabupaten Kupang.
Tidak sewa dari Pemkab Kupang tapi Bupati Kupang begitu aktif hendak merelokasi warganya yang 500 jiwa, 88 KK di Pulau Kera. Kita masih bertanya-tanya korelasi antara PT Pitoby dan Bupati Kupang itu seperti apa?
Ada dua hal di Pulau Kera, pertama soal isu relokasi 500 jiwa warga Pulau Kera yang dilancarkan Bupati Kupang dan kedua soal SHGB PT Pitoby.
Kesannya pemerintah lebih mementingkan perusahaan swasta murni PT Pitoby ketimbang warganya yang 500 jiwa dan 88 KK di Pulau Kera. 500 jiwa itu masyarakat kabupaten Kupang.
Pembangunan villa dan SHGB disana bukan Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui BUMN tapi itu bisnis perusahaaan swasta murni.
Ada 167 warga Pulau Kera menggunakan hak pilihnya saat Pilpres dan Pilkada, olehnya mereka berhak menagih janji pemerintah untuk memenuhi janji-janji politik untuk dipenuhi kesejahteraan, misalnya membangun aset pemerintah disana, seperti pelabuhan, gedung, kantor arsip atau apa, jelas Bumi.
Lanjutnya SHGB sekitar 26 hektar, tapi disuruh kosongkan satu pulau. Apa PT Pitoby membeli satu pulau atau beli sebidang tanah?, tanya Akhmad Bumi.
Kesannya satu orang memonopoli satu pulau tapi dengan mengusir ratusan jiwa yang telah menghuni pulau itu dan menetap secara turun temurun, ini tidak adil.
Pemerintah dan DPR diharapkan tidak menutup mata atas hal ini, ini konflik agraria yang sedapat mungkin diselesaikan dengan baik dan tidak merugikan semua pihak, jelasnya. (*)